Kisah paling terkenal dan fenomenal
perihal kepongahan manusia tiada lain ialah Fir’aun yang mengaku Tuhan.
Hari ini tentu saja sudah tak ada lagi manusia konyol yang mengaku
Tuhan. Tetapi, tidak lantas praktik kepongahan dalam wujud lain
benar-benar sirna.
Ada sebuah praktik pongah kekinian yang
sangat dibenci Tuhan, dan karenanya secara sadar kita berusaha keras
menjauhinya, tetapi celakanya justru kita mudah sekali tersuruk di
dalamnya, dengan atas nama membela Tuhan pula. Sungguh tragis!
Apa itu?
Mengangkat diri sebagai “staf ahli Gusti Allah”.
Kita semua yakin, sepeninggal Rasulullah
Saw. tak ada lagi manusia yang diangkat sebagai utusan-Nya. Dalam
bentuk apa pun. Alqur’an dan hadits Nabi yang kita warisi telah purna
untuk kita jadikan penuntun naqli menempuhi Jalan Allah.
Perkaranya ialah teks Alqur’an dan hadits jelas bersifat multitafsir (sebagian besarnya). Tanpa tafsir, kedua teks naqli
itu hanya akan menjadi “benda mati”, tidak produktif, bahkan tidak lagi
mampu menjawab fenomena-fenomena kehidupan umat Islam sendiri. Di
kalangan para akademisi muslim, sifat multitafsir ini ditabalkan sebagai
rahmatan lil ‘alamin karena menjadikannya shalih likulli zaman wa makan.
Lahirlah kemudian ribuan kitab tafsir, tasawuf, fiqh,
siyasah, etika, dan sebagainya dari generasi ke generasi sebagai “buah ijtihad” umat Islam. Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam kitab
‘Ilm Ushul Fiqh, ijtihad pertama bahkan telah dimulai sejak masa
sahabat Muadz bin Jabal ketika ditugaskan berdakwah ke Syiria oleh Rasulullah Saw. Lalu berlanjut ke generasi
tabi’in,
tabi’it tabi’in,
dan seterusnya. Dari sosok ulama agung macam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Syafi’i, hingga Imam Hanbali. Dari Al-Mawardi hingga Ibnu Taimiyah.
Dari Yusuf Qardlawi, Abul A’la al-Maududi, Abdullah bin Baz, hingga
Muhammad Abduh, Abdur Razzak, hingga Hasyim Asy’ari dan Quraish Shihab.
Dan seterusnya, dan seterusnya.
Ribuan kitab itu memuat pandangan tafsir
dan penyimpulan hukum yang sangat beragam, bahkan terhadap satu ayat.
Ayat tentang kepemimpinan Islam, sebutlah ayat “waman lam yahkum bima anzalallahu faulaika humul kafirun” (siapa yang tidak menghukum dengan hukum Allah maka mereka adalah kaum kafir), menghasilkan deretan perbedaan pendapat (ikhtilaf)
di kalangan para ulama dan kitab-kitabnya. Ada yang menyebutnya wajib
dipimpin orang Islam, misal Al-Maududi, ada pula yang menyebutnya tidak
wajib asalkan adil (misal Muhammad Abduh). Ada yang menyatakan negara
Islam wajib hukumnya ditegakkan secara legal-formal (macam pandangan
Imam Al-Mawardi), ada pula yang menyebutnya tidak wajib legal-formal,
tetapi substantif berupa tegaknya keadilan (macam Nurcholis Madjid).
Wajarlah bila kemudian berwarna pulalah pandangan umat Islam kini
tentang khilafah islamiyah. Ada yang mencukupkan dengan demokrasi, ada yang tegas harus berupa negara Islam macam pandangan HTI.
Perihal tahlilan juga kerap menyeruak tak terbendung perbedaannya. Ada yang menyebutnya sunnah, ada pula yang menyatakannya haram atas dasar hadits bid’ah. Keduanya sama-sama punya landasan dan argumen. Tentu saja, tidak ada titik temu antarmereka, toh mereka berdiri di atas kaki penafsiran yang berbeda.
Pada derajat yang fanatis, ikhtilaf
ini kerap menampilkan wajah yang sangat problematis dan menyeret umat
Islam pada pertikaian sosial. Faksi-faksi terbentuk dengan biner
kepalang bersikutan. Prinsip utama ajaran Islam yang jelas-jelas sangat
mengumbulkan ukhuwah berbasis akhlak karimah sering terlukai oleh ekspresi ikhtilaf setamsil. Padahal kita semua mafhum bahwa ada ayat Alqur’an yang berbunyi: “Wala takunu kal ladzina tafarraqu wahktalafu min ba’di ma jaathumul bayyinat waulaika lahum adzabun adhim….” (Dan
janganlah kalian menjadi orang-orang yang berpecah-belah dan
berpisah-pisah setelah didatangkan Alqur’an kepada kalian dan mereka
itulah orang-orang yang akan diazab dengan azab yang besar).
Hikayat perbedaan pendapat di antara
umat Islam sebenarnya bukanlah barang kekinian sama sekali. Dalam
sejarah Perjanjian Hudaibiyah, misal, Umar bin Khattab tegas menolak
permintaan Suhail (duta kafir Quraisy Mekkah) untuk menghapus kata “bismillah” dan “rasulullah”.
Tetapi, penolakan Umar ini langsung ditangani oleh Rasulullah Saw.
sendiri, dengan menjelaskan berbagai strategi dan keuntungan politis
umat Islam melalui “sikap mengalah” itu. Berkat keberadaan Rasulullah,
perbedaan pendapat itu langsung bisa diredam.
Sepeninggal Rasulullah, di kalangan para
sahabat Madinah, terdapat perbedaan pendapat tentang siapa yang pantas
menjadi penerus pemimpin umat Islam. Sebagian menginginkan Ali bin Abi
Thalib dengan argumen bahwa Ali adalah orang yang paling dekat dengan
Rasulullah Saw. dan pula bagian dari Ahlul Bait, tetapi sebagian lain
menghendaki Abu Bakar karena dianggap sahabat yang paling sepuh dan
bijaksana. Melalui pembentukan Ahlul Halli wal Aqdi, masalah itu
diselesaikan dengan dipilihnya Abu Bakar menjadi khalifah pertama. Perbedaan itu meski tak memuaskan semua pihak tetap berhasil diselesaikan dengan baik berkat kuatnya sikap tawadhu’ di kalangan para sahabat.
Di era pembentukan mazhab-mazhab Fiqh
Islam, perbedaan-perbedaan pandangan hukum kian meluas. Pernah misalnya
terjadi perbedaan pendapat antara Imam Malik dan Imam Syafi’i. Imam
Syafi’i yang lebih muda sowan kepada Imam Malik di Madinah untuk “bertukar pikiran” tentang berbagai hadits.
Imam Malik yang mengetahui kedalaman ilmu Imam Syafi’i meminta Imam Syafi’i membaca kitab Al-Muwaththa’ karangan Imam Malik. Imam Syafi’i yang ternyata hafal seluruh kitab Al-Muwaththa’ itu
membaca dengan disimak langsung oleh Imam Malik yang juga hafal kitab
karangannya. Sekali tempo, mereka terlibat diskusi dan bertukar pikiran.
Ketika tiba waktu shalat, Imam Malik meminta Imam Syafi’i mengimami dengan
alasan
bahwa tamu harus dihormati, tetapi Imam Syafi’i menolak dengan alasan
Imam Malik lebih sepuh dan lebih ahli hadits. Mereka saling
mempersilakan atas prinsip saling menghormati. Akhirnya, keduanya
sepakat untuk bergiliran menjadi imam shalat. Prinsip
tawadhu’ dan
tarahum benar-benar dijunjung kuat oleh mereka dalam perbedaan pendapat apa pun.
Pada suatu peristiwa lain, Imam Syafi’i yang menghukumi sunnah membaca qunut dalam shalat Subuh sedang mengimami shalat Subuh di sebuah masjid asing. Beliau tidak membaca qunut
seperti biasanya, sesuai pandangan mazhabnya, sehingga seusai shalat
beberapa jamaah menanyakan keganjilan tersebut. Imam Syafi’i lalu
menjelaskan bahwa ia tak membaca qunut bukan karena lupa tetapi
semata demi menghormati jasad agung yang disemayamkan di masjid itu,
yakni Abu Hanifah pendiri Mazhab Hanafi yang dalam kitab fiqh-nya menyatakan membaca qunut dalam shalat Subuh tidak ada landasan dalilnya. Betapa dalamnya sikap tawadhu’ dan tarahum ditampilkan di sini.
Melalui contoh-contoh ikhtilaf ini, benderang sekali bahwa di atas segala perbedaan pandangan atas dalil-dalil naqli (Alqur’an dan hadits), para sahabat dan ulama senantiasa mendahulukan adab sebagai cerminan akhlak karimah. Mereka memberikan i’tibar pada kita semua bahwa berbeda pendapat itu wajar, normal, alamiah, bahkan rahmah,
sepanjang ukhuwah islamiah selalu dijunjung di atas segalanya. Berbeda
pendapat dan hukum tidaklah sahih sama sekali untuk dijadikan picu
bertikai, bermusuhan, apalagi berpukulan.
Kini bandingkan catatan adab ikhtilaf itu dengan gaya berislam kita. Sungguh terjungkir terbalik! Kita gemar betul meruncingkan perbedaan, ikhtilaf,
dengan sejuta argumen yang tentu saja takkan pernah terbayar tuntas,
ketimbang menjunjung akhlak sosial, persaudaraan, dan kemanusiaan. Kita
semakin terperosok ke jurang “truth claim” yang disponsori “salvation claim”, dengan pekik keras bahwa yang tidak sama dengan kita adalah salah, bahkan sesat, bahkan kafir, bahkan musuh Allah, bahkan ahlun nar. Atas nama kebenaran tafsir, yang kita pangkati “Kebenaran Allah”, kita bertega betul melumat pesona akhlak karimah.
Sesaudara tak lagi menyapa, setetanggaan tak lagi berbincang,
sesahabatan tak lagi bersua hangat, apalagi dengan muslim yang tak
pernah dikenal.
Apa yang sebenarnya tengah meracuni iman dan Islam di kepala dan dada kita?
Wacana!
Inilah sejatinya yang tengah kita bela
bahkan dengan merelakan cara-cara anarkis dan amoral. Posisi kita semua,
kita tahu, pada hakikatnya hanya sedang ittiba’ atau taklid
pada suatu “tafsir hukum” yang notabene disimpulkan berdasar “jaring
laba-laba”: keilmuan, sanad ilmu, corak ideologis, dan bahkan
kepentingan sosial-politis-ekonomis—yang boleh jadi kita warisi dari
orang tua atau kita tiru dari guru-guru kita atau bahkan kita kenal dari
link-link virtual yang antah-berantah.
Di sebelah kita, tentu saja berjubel umat Islam lain yang juga memiliki frame “jaring laba-laba” yang demikian. Bila frame “jaring laba-laba” yang beragam itu diberahikan saling melumat satu kepada lainnya atas nama apa pun, termasuk judge Kebenaran Allah, jadilah interaksi sosial kita mengarah pada konflik, chaos, bahkan permusuhan dan kekerasan.
Apa yang sejatinya sedang kita perjuangkan?
Kita sungguh-sungguh tak sedang membela
agama Gusti Allah, Islam yang
rahmatan lil ‘alamin, sama sekali tidak. Sebab, selalu dan selalu, Islam bermuara pada Puncak Cinta bernama
akhlak karimah (
Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq). Jika kita memang sedang membela agama Gusti Allah, seyogianya kita menjunjung selalu dalam situasi apa pun semata
akhlak karimah.
Yang kita bela rupanya hanyalah “berhala wacana” pujaan kita, yang kita klaim paling benar (truth claim) dan paling menyelamatkan (salvation claim),
untuk dibenarkan, diterima, dan diikuti oleh semua orang. Bila tidak,
kita akan tekun menyebut mereka musuh yang sesat, kita pun siap
berpecah-belah, bertikai, bahkan bersipentung, disertai pekikan atau caption “Allahu akbar”—yang ironisnya Allah sangat membenci permusuhan dan kekerasan.
Demikian gaya berislam kita kini, demikianlah gaya para staf ahli Gusti Allah—gaya ultra-bid’ah yang tak pernah diajarkan oleh Rasulullah, para sahabat, dan salafus shalih.
Tentu, ini adalah gaya berislam yang penuh kepongahan, “Islam yang
ber-DNA Fir’aun”, dengan senantiasa menabalkan diri mewakili
kehendak-kehendak Gusti Allah, pemangku kebenaran tunggal Gusti
Allah—padahal Gusti Allah tak pernah sekali pun membisiki saya benar dan
sampeyan salah atau sebaliknya.
Kita tidak sedang menyembah Allah yang
Maha Pengasih dan Penyayang bila demikian gayanya, tetapi menyembah
berhala wacana setiap kita yang keras kepala lagi pongah. Di hadapan
fenomena masif mengerikan ini, saya kerap merenung: bukankah sikap
demikian sekarakter dengan kesyirikan?